Prodi MPD IPB University Gelar FGD Bahas Peluang dan Tantangan Program Subsidi Langsung Pupuk

Program Studi (Prodi) Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB University mengadakan focus group discussion (FGD) dengan tema Peluang dan Tantangan Program Subsidi Langsung Pupuk.

FGD diadakan di di IPB International Convention Center (27/7), dihadiri oleh unsur pemerintahan, badan usaha milik negara (BUMN), akademisi, penyuluh pertanian, dan kelompok tani. Hadir sebagai narasumber Dr A Faroby Falatehan, Ketua Prodi MPD IPB University.

Dr Faroby pada pertemuan itu menjelaskan, FGD ini didasari oleh hasil survei dan kajian yang dilaksanakan oleh prodi MPD. Survei dilaksanakan di enam provinsi, yakni Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Indikator survei mencakup literasi petani terhadap mekanisme penebusan pupuk bersubsidi menggunakan kartu tani, literasi teknologi informasi dan keuangan digital, serta persepsi petani dalam menghadapi berbagai pilihan rencana perubahan kebijakan pupuk bersubsidi.

”Total sejumlah 17 kabupaten/kota menjadi lokus survei dengan total 33 kecamatan. Adapun responden pada survei ini yakni sebanyak 602 petani dan 33 kios pengecer pupuk. Selain itu, kajian lainnya adalah bekerja sama dengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengenai kajian analisis subsidi pupuk,” paparnya.

Tujuan dari FGD ini, sebut dia, untuk menyampaikan informasi hasil survei kepada pemangku kepentingan dan para pihak terkait, salah satunya mengenai karakteristik penerima pupuk bersubsidi. Di samping itu, juga terkait persepsi petani dalam menghadapi berbagai pilihan rencana perubahan kebijakan pupuk bersubsidi serta peluang, tantangan, dan solusi penerapan subsidi langsung pupuk.

Mayoritas petani penerima pupuk bersubsidi memiliki latar belakang pendidikan di bawah sekolah menengah dengan usia rata-rata di atas 60 tahun. Kondisi tersebut akan sangat memengaruhi berbagai aspek seperti penggunaan kartu tani hingga penerapan teknologi informasi pada saat penebusan pupuk subsidi.

“Dari hasil survei dan kajian, ternyata petani penerima pupuk bersubsidi lebih menyukai mekanisme penebusan pupuk bersubsidi yang diterapkan saat ini, yakni penebusan dapat menggunakan KTP, dilakukan di kios pengecer, bisa dilakukan secara berkelompok, serta subsidi diberikan dalam bentuk barang atau pupuk,” ujarnya,

Dr Faroby menambahkan, terkait program Bantuan Langsung Petani (BLP) berupa transfer subsidi langsung kepada petani, saat ini belum bisa diterapkan pemerintah karena masih terdapat beberapa kendala di lapangan.

Sejumlah kendala tersebut seperti validitas data petani dan penentuan kriteria petani penerima, rendahnya penggunaan kartu tani, rendahnya literasi keuangan digital petani, terbatasnya anggaran, dan belum adanya payung hukum sebagai dasar pelaksanaan program tersebut bagi pemerintah.

“Sementara itu, jika BLP diterapkan, maka dalam penentuan harga pupuk subsidi, terdapat dua opsi, yaitu rayonisasi atau satu harga di seluruh Indonesia. Kebijakan satu harga pupuk subsidi di tingkat nasional lebih rasional untuk diimplementasikan dibandingkan dengan kebijakan satu harga pupuk subsidi di tingkat rayon,” tambahnya.

Melalui prodi MPD, Dr Faroby menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan upaya ekstra sebelum program tersebut dijalankan, yaitu berupa penentuan basis data yang valid serta pemberian dukungan anggaran dan perbaikan kelembagaan pendataan, termasuk adanya dukungan anggaran dan sosialisasi kepada program kartu tani.

“Upaya pemerintah ini agar tujuan subsidi pupuk tercapai dan tidak terjadi kebocoran dalam penggunaan anggaran negara, dan kami berpandangan perlu adanya sinkronisasi kebijakan BLP ini dengan pemerintahan periode selanjutnya,” imbuhnya. (HBL/Rz)